Berita

Kebijakan Tanpa Nurani: Refleksi atas Penonaktifan Kepala SMAN 1 Cimarga

21
×

Kebijakan Tanpa Nurani: Refleksi atas Penonaktifan Kepala SMAN 1 Cimarga

Sebarkan artikel ini

mutiaramedia.com. Lebak, 14 Oktober 2025 – Di tengah derasnya sorotan publik, langkah Gubernur Banten menonaktifkan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga menimbulkan keprihatinan dari dunia pendidikan. Repi Rizali, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA), menilai keputusan ini sebagai tindakan tergesa-gesa, kurang mempertimbangkan konteks, dan tidak berpihak pada guru. Ironisnya, korban sesungguhnya adalah mereka yang menjalankan tanggung jawab moral sebagai pendidik.

Menurut Repi, tindakan kepala sekolah yang menegur siswa karena merokok di lingkungan sekolah tidak seharusnya langsung dikategorikan sebagai pelanggaran berat.

“Niat guru tersebut baik, ingin mendidik siswanya agar memiliki karakter, disiplin, dan menjadi manusia yang bermoral demi masa depan mereka,” kata Repi, dengan nada tegas namun sarat filosofi pendidikan.

Keputusan pemerintah, menurut Repi, seolah menafikan konteks, niat, dan tanggung jawab moral di balik setiap tindakan pendidik.

“Gubernur tampak ingin menunjukkan kewibawaan, padahal yang terjadi adalah pengurangan wibawa pendidikan dan moralitas sekolah. Ini bukan hanya masalah etika, tetapi juga cerminan kebijakan yang kurang matang,” tambahnya.

Dalam analisis Repi, tindakan siswa yang merokok jelas merupakan pelanggaran moral dan disiplin. Kepala sekolah dalam hal ini menjalankan tugasnya secara tepat dan bertanggung jawab.

“Korban sebenarnya adalah kepala sekolah. Ia menjadi korban perilaku siswa yang tidak disiplin, sekaligus keputusan pemerintah yang kurang mempertimbangkan konteks.”

Pendekatan BRIMA bukan sekadar kritik birokrasi, melainkan refleksi budaya dan filosofis. Repi menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar urusan administratif, melainkan perjuangan membentuk manusia bermoral, beradab, dan disiplin.

“Ketika guru yang mendidik siswa bermoral dan disiplin justru dihukum, bangsa ini sedang kehilangan perspektif akal sehat. Pendidikan harus dinilai dari perspektif kemanusiaan dan moralitas, bukan birokrasi semata,” tegasnya.

 Pernyataan ini menegaskan paradoks tragis, pejabat yang seharusnya menjadi penopang sistem pendidikan malah berpotensi mereduksi fondasi moral dan budaya sekolah. Penonaktifan kepala sekolah tidak hanya menghukum individu, tetapi menyalahi prinsip pendidikan sebagai ruang pembentukan karakter dan etika.

Lebih jauh, Repi menegaskan keputusan seperti ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh pejabat publik. Kebijakan pendidikan yang lahir dari pertimbangan dangkal dapat berdampak jangka panjang terhadap kepercayaan masyarakat dan wibawa profesi guru. Dari perspektif sosiologis, tindakan yang seharusnya membangun karakter siswa justru menjadi simbol kekuasaan birokrasi yang kurang matang. Dengan nada filosofis yang menyentuh, Repi menekankan

“Pendidikan adalah seni membentuk manusia. Ketika guru yang menjalankan tugas dengan nurani justru mendapat sanksi, masyarakat dan generasi muda dipaksa menyaksikan ketidakadilan formal, di mana moralitas menjadi korban. Kepala sekolah bukan pelaku salah, melainkan benteng terakhir yang menjaga nilai-nilai luhur pendidikan.”

Sebagai penutup, Repi mendesak Gubernur Banten untuk segera mencabut keputusan penonaktifan.

“Ini bukan soal dendam atau politik, tetapi menempatkan pendidikan pada jalur akal sehat dan moralitas. Guru harus dihormati, disiplin siswa ditegakkan, dan bangsa harus kembali berpikir sebelum menilai.”

Kasus ini menjadi pengingat kuat bahwa pendidikan bukan sekadar aturan, melainkan perjuangan membentuk generasi beradab, bermoral, dan berintegritas. Keputusan gubernur yang menonaktifkan kepala sekolah menjadi cermin bagi bangsa: jika kebijakan lahir dari pertimbangan dangkal, maka bukan hanya individu yang dirugikan, tetapi masa depan pendidikan dan budaya bangsa yang dipertaruhkan.

Dalam era di mana nalar sering dikorbankan untuk popularitas dan sensasi, kisah SMAN 1 Cimarga ini menjadi ledakan batin bagi publik yang peduli pendidikan, menegaskan bahwa martabat guru dan sekolah adalah tiang peradaban bangsa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *