hukumOpinipemerintahan

Wacana Revisi UU Polri Picu Reaksi Publik

117
×

Wacana Revisi UU Polri Picu Reaksi Publik

Sebarkan artikel ini

MUTIARAMEDIA.COM, BANTEN – Wacana Revisi UU Polri sudah menjadi perbincangan publik, sementara sosialisasi dari rencana revisi UU Polri tersebut belum juga dilakukan. Sehingga juntrungannya dapat lebih menyudutkan publik dalam hal ini rakyat sipil yang diklaim DPR RI tetap sah diwakilinya di parlemen.

Semoga saja pembahasannya tidak dilakukan juga di hotel mewah untuk menghindar dari pemantauan publik, sekaligus hasrat  menghamburkan duit rakyat di tengah kondisi ekonomi nasional yang sedang menghimpit rakyat.

Kritik dan tanggapan pun mulai riuh dan merebak mengungkapkan kegelisahan dan kecemasan terhadap wacana pembahasan revisi UU Polri itu seperti diungkapkan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang telah berkirim surat sejak awal, 3 Maret 2025 agar nasib pembahasan revisi UU Polri tidak kembali mengiris hati rakyat seperti proses pembahasan revisi UU TNI yang mengabaikan peran serta warga negara dan dilaksanakan di hotel mewah tanpa peduli dengan dera dan derita rakyat yang tengah dihimpit ekonomi yang parah.

Kecuali itu, kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi (pengiritan) anggaran semakin menunjuk penipuan dan pengkhianatan tiada empati terhadap rakyat. Sehingga seruan dan kebijakan yang dilakukan pemerintah hanya untuk rakyat yang tidak berdaya.

Hal itu menimbulkan gerakan dan aksi perlawanan rakyat di berbagai daerah dan tempat semakin marak, hingga banyak rakyat harus menjadi korban dari keganasan aparat yang selalu berdalih atas nama hukum dan keamanan.

Sementara dalam kesempatan yang lain, sejumlah kasus yang merundung aparat maupun instansi Kepolisian semakin membuat kebingungan serta kecemasan warga masyarakat.

Surat terbuka Kontras jelas mendesak agar Komisi I dan Komisi III DPR RI menghentikan rencana pembahasan revisi UU Polri.

Sebab dalam kondisi yang ada sekarang, tinggal bagaimana mengefektifkan dan menerapkan konsistensi serta sikap disiplin dan ketaatan setiap personil Polri terhadap hukum serta peraturan yang sudah berlaku di negeri ini.

Sehingga sikap boros serta hasrat untuk lebih memperluas otoritas Polri tidak semakin mempersempit kebebasan rakyat dalam menyampaikan pendapat, baik lisan maupun dalam bentuk tulisan melalui berbagai media sebagai kontrol sosial yang perlu dan patut dilakukan. Sebab negeri ini milik kita bersama, bukan milik segelintir atau sekelompok orang per orang.

Proses pembahasan revisi UU Polri terkesan sedang dipaksakan hendak segera dilakukan dengan mengabaikan partisipasi publik. Meski berdasarkan data resmi  DPR RI, revisi UU Polri tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) periode tahun 2020-2024.

Catatan tentang revisi ini pun berbanding terbalik dengan 20 pengabaian DPR RI terhadap Rancangan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, atau 14 tahun pengabaian RUU Masyarakat Adat dan RUU KUHAP yang mangkrak seperti proyek pemerintah yang telah menelan banyak uang rakyat tiada ada manfaatnya yang bisa dinikmati oleh masyarakat.

Substansi dari RUU Polri yang alam direvisi menurut Koalisi Masyarkat Sipil untuk reformasi Kepolisian (Reform For Police) merinci sejumlah keberatan untuk revisi UU Polri ini, diantaranya menuntut DPR RI dan Presiden Indonesia atas nama pemerintah untuk tidak menyusun UU Polri secara serampangan seperti proses revisi UU TNI hanya untuk kepentingan politik yang mengabaikan mekanisme pembentukan peraturan per udang-undangan yang harus selaras dengan prinsip demokrasi dan etika negara hukum. Karena UU yang baru.

Apapun bentuk dan peruntukannya harus memperkuat cita-cita reformasi agar sistem demokrasi di Indonesia dapat semakin kuat dan menciptakan kebaikan untuk semua pihak, utamanya bagi rakyat.

Demikian pula, Hasil survei terhadap kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap institusi penegak hukum yang dilakukan LSI ( Lembaga Survei Indonesia) tahun 2023 menunjukkan posisi Polri para peringkat keempat terendah.

Hasil survei LSI itu, paralel dengan hasil survei yang dilakukan juga pada tahun 2923 terkait dengan Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap lembaga pemberantasan korupsi dengan posisi Kepolisian RI berada pada posisi paling rendah. Artinya, dari berbagai data hasil penelitian tersebut memperjelas Kepolisian sebagai institusi yang memang memiliki masalah besar.

Masalahnya dalam proses peralihan kekuasaan dari pemerintahan Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR RI sekonyong-konyong menginisiasi revisi UU Polri yang seharusnya membahas persoalkan krusial yang memperburuk institusi kepolisian, seperti fungsi dan tugasnya sebagai pengawas, justru tidak mendapat perhatian dalam rencana revisi UU Polri ini.

Pasalnya, pandangan dari berbagai pihak RUU Polri ini akan membuat Polri menjadi institusi yang  semakin luas — untuk tidak mengatakan lebih rakus — kewenangannya hingga menjadi “superbody” yang bisa menjadi rakyat sebagai korban yang selalu dirugikan.

Patut menjadi perhatian dan khawatiran berbagai kalangan dari revisi UU Polri ini secara substansi tidak memiliki agenda untuk memperkuat perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan tidak samasekali memihak pada kepentingan masyarakat sipil, hingga sangat terkesan mengabaikan upaya perbaikan terhadap mekanisme pengawasan yang akan melanggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang menjadi pelaku kejahatan atau jadi pelanggaran hukum seperti yang telah banyak terjadi pada kisaran sepuluh tahun terakhir ini.

Begitulah sejumlah kekhawatiran serta kecemasan warga masyarakat dalam rencana revisi UU Polri yang akan segera disusulkan setelah pengesahan UU TNI di Indonesia. Karena rakyat akan semakin rentan menjadi obyek yang menjadi korban dan akan didera banyak kerugian. (MM/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *